Pages

Minggu, 18 Agustus 2013

Audisi Hati


Lelaki pertama datang, ia melempar senyum arogan. ‘Kita udah pernah berhasil jalani hubungan selama nyaris setahun. Ibarat kata yang sering Presiden Demokrat itu ucapkan,’ inilah saatnya kita.. LANJUTKAN!’ Ia mengangkat alisnya. Mendongakkan kepala sambil mengibas-kibaskan BB Smartphone ke udara.

Lelaki kedua tiba. JRENGG.... Tiba-tiba mengalun intro lagu Can’t Take My Eyes Off of You versi akustik. Ia mulai menyanyi diantara denting petikan gitar. Unjuk gigi dengan aksi musikalisasi. Seusai lagu selesai, ia berkata, ‘Dari benda ajaib ini..’ Ia menunjuk ke arah gitarnya. ‘Cinta demi cinta untukmu akan tercipta..’

Kemudian, lelaki ketiga hadir. Dengan langkah tegap, ia memasuki ruangan. Ia meletakkan sebuah Kunci yang bertaut dengan sebuah Label berlogo Kuda Jingkrak—lambang khas mobil Ferrari. ‘Indianapolis, Catalunya, Jerez maupun Losail, kamu tinggal milih. Bilang sama aku, dan kita akan beradu cepat disana..’ Ia mengedipkan satu mata. ‘Kamu, aku dan Si Merah..’


Perempuan itu tampak dilema. Semua menawarkan apa yang ia impikan. Menimbang-nimbang setiap kesempatan yang diajukan. Salah menentukan, bisa-bisa berujung penyesalan.

Kini giliran saya. Saya tak menyiapkan persiapan. Jujur, saya sedikit gugup. Saya tak mencari kemenangan, saya hanya ingin berpartisipasi. Hanya ingin mengungkapkan. Hanya ingin perempuan itu tau. Memanfaatkan sisa peluang sebelum ia diringkus orang. Menghilang.

Lelaki pertama membawa BB, lelaki kedua memamerkan permainan gitar, dan lelaki ketiga membuatnya terhenyak oleh kecepatan.

Lah, saya?
Saya bawa apaaaa?
Apa yang bisa saya tunjukkan sebagai jaminan untuk memiliki dia?
Apa yang bisa saya bawaaa?

‘Permisi..’ Saya memasuki ruang audisi hati.

‘Waktuku nggak banyak. kamu punya 46 detik untuk menjelaskan. Lekaslah!’ Dengan bernada seperti memerintah—atau mencegah, ia menyebutkan syarat dan peraturan.

‘Emm, hai kamu. Saya kangen kamu..’ Saya mulai angkat bicara.

‘Ah, langsung aja ke inti. Gak perlu basa-basi.’

‘Oh, oke.. anu.. saya kesini cuman...’

‘Cepetaaaaan! Lelet bet sih!’ Kedua alisnya bertemu. Perempuan itu marah. Sepertinya ia memang tak mau diganggu.

Saya tersenyum. Benci rasanya, tapi tak apa. Toh, itu hak dia untuk mengatur hatinya.
Saya diam. Meletakkan barang yang saya bawa, lalu bergegas pulang. Tak ada sepatah kata. Tak ada selarik pesan.

Saya pulang.

Saya tidak tahu. Saya tidak bisa membayangkan reaksinya ketika melihat barang saya. Apa ia akan langsung menyuruh petugas untuk membuangnya? Atau ia tak akan memubadzirkan waktunya untuk menggubris barang saya? Ah, entahlah..

Saya hanya berharap semoga ia mengerti—dan mengingat. Tentang cerita yang pernah terukir dibalik barang itu..

Cerita usang di masa yang telah berlalu.
Cerita tentang kenangan dibalik sebuah.... GALON.

Iya, saya hanya membawa satu Galon Aqua. Meletakkan dan meninggalkannya di lantai. Persis seperti apa yang perempuan itu pinta.

***


Samar-samar, saya mendengar suara memanggil nama saya, ‘Ramaa...’


(.‘’)(‘’.) (.‘’)(‘’.)

Matur nuwun sudah kersa pinarak ke gubuk kecil saya
Sebuah gubuk, tempat menabung potongan kejujuran dan cuplikan angan


0 komentar:

Posting Komentar

Thanks for Reading. Follow my instagram account @abadikanmu and see you there!