Namaku
Rangga. Begitulah mereka memanggilku.
Ibuku
menamaiku sesuai dengan spesies kami. Serangga. Ya, aku seekor serangga.
Malam
ini aku sedang berada di sebuah ruangan. Bersembunyi dibalik kasur kapuk, pada
sebuah celah antara tepi kasur dengan sudut tembok. Sendirian. Diam dan
bersiaga. Waspada.
Ruangan
ini cukup luas. Dari beberapa pakaian yang sempat kulirik di dalam lemari,
sepertinya ini sebuah kamar. Kamar perempuan. Nggak banyak benda yang tersimpan
diruangan ini. Cuma ada satu kasur, satu lemari dan seumbruk pakaian kotor yang
dibiarkan berserakan begitu saja.
Disini
gelap. Ada sebuah jendela disamping lemari tapi sepertinya ia tak berguna. Ada
benda besar tepat berdiri dibagian luar jendela itu. Menutupinya sehingga
menghalangi sinar dari luar masuk ke dalam.
Selain
lampu yang sedang dimatikan, hanya ada satu sumber cahaya disini. Segaris
cahaya horizontal yang berpendar putih dari celah kecil dibawah pintu. Begitu
menyilaukan.
Dari
celah itu, aku sering melihat bayang-bayang hilir mudik dari satu ruangan ke
ruangan lainnya pada jam tertentu.
Aku
nggak berani mendekat apalagi melihat bentuk bayangan itu lebih jelas. Takut
ada yang memergoki dan membunuhku dengan sekali pijakan. Maklum, aku
hanya serangga. Tubuhku yang kecil ini lebih terlihat seperti tempe penyet
dihadapan mereka.
Aku
hanya bisa bersembunyi sembari mengamati. Menduga-duga dan sesekali menguping
pembicaraan mereka.
Di
ruangan bercahaya putih itu berkumpul beberapa manusia. Sepertinya sebuah
keluarga. Aku cukup yakin meski aku hanya mengawasi dari celah terkecil. Mereka
sering menghabiskan waktu diruangan bercahaya itu. Tertawa, mengobrol dan
bercanda bersama.
Aku
penasaran sekali. Aku kesepian berdiam di ruang gelap ini. Terbesit dibenak
keinginan untuk keluar dari ruang ini dan ikut bergabung dengan mereka—keluarga
bahagia itu. Tapi ukuran nyaliku tak sebesar keinginanku. Aku nggak berani. Aku
takut mati.
Lagipula
aku tak begitu yakin mereka akan ramah dengan kehadiranku disini. Jadi dari
pada hidupku berakhir menjadi tempe penyet yang sia-sia, aku memilih untuk
tetap berdiam disini saja. Lebih aman, kurasa. Setidaknya aku bisa hidup
sedikit lebih lama.
Dalam
kegelapan sunyi, aku berdoa. Semoga mereka, manusia itu, senantiasa bahagia
tanpa menghiraukan aku ada. Siapa pula yang mau menghiraukan aku. Aku hanya
seekor serangga tempe penyet. Serangga tak bernyali yang berdiam diri mengamati
keadaan diluar melalui celah kecil bawah pintu. Mengantisipasi situasi sambil
cari jalan buntu.
Namaku
Rangga. Aku seekor serangga. Keberadaanku disini dianggap hina. Aku seringkali
diharapkan tak pernah ada. Tak apa, aku paham dengan idealisme
mereka. Aku cuma ingin mengamati saja. Melihat dari jauh bagaimana sebuah
keluarga hidup bahagia penuh tawa.
Saling
berbagi cerita dan cinta dengan sesama manusia. Hanya sesama manusia. Bukan
serangga.
Andai
aku bisa menjadi manusia atau setidaknya dianggap menyerupai manusia seperti
mereka...
Bukan
menjadi serangga. Kecoa.
(.‘’)(‘’.) (.‘’)(‘’.)
Matur
nuwun sudah kersa pinarak ke gubuk kecil saya
Sebuah gubuk, tempat menabung potongan
kejujuran dan cuplikan angan