Pages

Kamis, 19 Juni 2014

Lonte Sontoloyo



Pemburu berita sedang berada di puncak jayanya saat ini. Segala berita tumpah ruah selama bulan-bulan terakhir dan bulan-bulan ke depan. Berita politik, korupsi, pemilu, jelang puasa, dan piala dunia.

Nanti juga masih banyak berita yang menunggu untuk dibeberkan. Tentang arus mudik, penentuan Presiden oleh KPU, hari kemerdekaan, dan lain sebagainya. Bagi mereka sang wartawan, pertengahan tahun ini jelaslah tidak bisa disebut sebagai musim paceklik.

Ada satu berita yang baru-baru ini menyentil saya untuk nggak bisa nahan diri minta komentar dari Pakdhe Raya S. Jokondokondo. Berita mengenai penutupan lokalisasi Gang Dolly yang rencananya akan ditutup pada tanggal 18 Juni.

Pakdhe Raya yang sedang udud di teras rumah tampil berbeda dengan rambut gondrongnya yang dikucir. Mau dikucir, mau dikepang, mau di apa-apain ya tetep aja, rambut keritingnya selalu terlihat sangar.

‘Pakdhe Raya setuju nggak dengan wacana penutupan Gang Dolly itu?’ Saya memulai obrolan dengan pertanyaan.

Asap mengepul di depan bibirnya. ‘Lepas dari pernyataan setuju atau ndak, yang pasti sampeyan musti tahu, Mas. Gang Dolly ndak bakal pernah ditutup.’

‘Loh, tapi pakdhe, Pemkot Surabaya aja udah mengkonfirmasi perihal rencana penutupan pada tanggal 18 itu kok. Panjenengan belom liat beritanya, ya?’

‘Saya yakin, Mas. Gang Dolly itu ndak bakal tutup. Gang Dolly hanya akan pindah tempat dan berganti nama saja.’

‘Maksud Pakdhe?’


‘Selama upaya dan cara pemerintah masih kayak Tukang Perintah, gang Dolly akan tetap ada. Mungkin saja namanya yang berubah jadi Gang Peni, Gang Kartini, Gang Si Beby, Gang Si Doi, atau yang lainnya. Singkat kata, rencana penutupan ini hanya istilah lain dari Imigrasi Mucikari.’

Mungkin karena merokok, saya menduga. Pakdhe Raya tumben hari ini bisa seserius ini.

‘Memangnya menurut panjenengan cara yang benar untuk benar-benar menutup lokalisasi Gang Dolly gimana, Pakdhe?’

Asap kembali mengepul dan mengepung badan Pakdhe Raya. Saya yang bukan perokok berkali-kali terbatuk karenanya.

‘Yaa lonte-lontenya yang dibenahi. Vagina lontenya yang ditutup pake pendekatan intensif. Bukan cuman tempat mereka biasa “berdagang” yang melulu diurusi. Kalo vagina lonte-lonte itu terus menerus dibiarin bolong, wajarlah kalo banyak penis yang keluar masuk disana.’

Ah, Pakdhe Raya mulai sembarang ngomongnya. Saya nggak berani protes. Saya masih pengen ndengerin penjelasan beliau. ‘Cara “menutup vagina” mereka supaya nggak bolong gimana, Pakdhe?’

‘Begini, Mas. Mari saya jelaskan. Jadi walau gimana pun, yang namanya lonte itu juga manusia. Mereka punya hak dan derajat yang sama dengan kita. Sesama manusia. Tuhan ndak pernah memandang sebelah mata para hambaNya. Cuman kita yang suka sombong membeda-bedakan manusia sesuka jidat.

Liat saja tuh para ustad yang khotbah di pengajian. Beberapa diantara mereka nyuruh kita supaya menjauhi para lonte. Bahkan ada yang sampai mengata-ngatain kalo para lonte dipastikan masuk nerakalah, yang berdosa besarlah, yang temannya iblislah. Banyak pokoknya, Mas.

Logikanya gini, si ustad menghina dan menghujat si lonte sedemikian rupa tapi jangankan mencoba mengajak mereka berubah ke jalan yang benar, hlawong mereka malah merasa jijik dan menyuruh kita menjauhi.

Sekarang, mana mungkin si lonte mau dan bisa berubah kalo lingkungan sekitar sudah mengucilkan mereka. Mana mungkin si lonte sadar perbuatannya salah, kalo yang tahu mana yang benar ndak mau mengajak mereka untuk berubah menjadi benar.

Hati saya miris, Mas. Seandainya saja para pemuka agama mau mendatangi dan mengadakan pengajian untuk para lonte, pasti jumlah lonte akan berkurang. Sudah ada memang, tapi masih amat sangat sangat jarang.

Saya mikirin perasaan para lonte itu. Mungkin mereka ndak pengen hidup menjadi lonte. Mungkin sesuatu memaksa mereka untuk menjadikan lonte sebagai sebuah profesi. Mereka, lonte-lonte itu, seperti anak tiri yang dicaci maki dan lupa diurusi oleh orangtua kandung mereka sendiri.

Mereka itu lonte. Kalopun ingin ngasih ceramah ke mereka yo ada caranya sendiri. Jangan bawa ayat Tuhan atau khotbah yang panjang tentang azab neraka. Mereka ndak bakal mau denger. Juga sekali lagi, jangan mencaci mereka. Kasihan, hati mereka rawan rapuh.’

‘Lalu gimana cara ngomong yang baik ke lonte-lonte itu, Pakdhe?’

‘Yo saya ndak tahu, Mas. Coba nanya ke psikolog, mungkin mereka lebih paham. Saya cuma bisa berbagi pengalaman. Dulu saya pernah punya sahabat yang masih bekerja sebagai lonte. Boleh percaya boleh ndak, dia ngomong sendiri ke saya kalo dia pensiun dini dari dunia kelontean gara-gara denger omongan saya.’

‘Pakdhe ngomong apa?’


‘Waktu itu saya di suatu kesempatan dia nangis-nangis curhat ke saya, katanya dia benci ngelonte tapi nggak punya pilihan lain selain menjadi lonte. Untuk membantu biaya hidup orang tua, dia beralasan.

Pada waktu itu saya cuma bilang ke dia, “Yo saya ngerti gimana perasaan sampeyan. Saya cuman bisa berdoa semoga pekerjaan sampeyan saat ini ndak lama. Sampeyan bisa cepet beralih ke profesi lain. Untuk saat ini, dengan keadaan seperti ini, lakukan yang perlu dilakukan. Tuhan ndak pernah tidur. Tuhan tahu apa yang sampeyan mau. Tuhan mengabulkan doa sampeyan nanti tepat kalo sampeyan memang sudah siap. Tuhan sayang sama sampeyan, nduk.” Gitu mas.’

‘Dan dia beneran pensiun, Pakdhe?’

‘Seorang yang rapuh hanya mampu dikuatkan sama yang namanya sentuhan kasih sayang, Mas. Segala yang berbau kekerasan ndak mempan menyadarkan hatinya. Tapi kelembutan, kasih sayang dan perhatianlah yang akhirnya membuat dia berhenti menjajakan diri.’

Saya tersenyum mendengar wejangan Pakdhe Raya.
Entah dari mana ada perasaan takjub yang menggelembung. Tersebar dalam skala besar bercampur dengan asap rokok yang mengambang pelan di atas kami.

Pada akhir jumpa, malam itu, Pakdhe Raya kembali berkata, ‘Hati saya rasanya miris, Mas. Banyak orang yang ndak sepantasnya menghina para lonte, malah menjadi yang paling khusu menghina mereka. Barangkali yang menghina itu lupa, bahwa dirinya juga belum tentu lebih mulia dari lonte-lonte yang mereka hina. Bisa jadi, merekalah yang lebih menjijikkan.’


‘Iya, Pakdhe. Mereka lebih sontoloyo!’

‘DASAR KONTOLOYO..! eh, SONTOLOYO!’


(.‘’)(‘’.) (.‘’)(‘’.)

Matur nuwun sudah kersa pinarak ke gubuk kecil saya
Sebuah gubuk, tempat menabung potongan kejujuran dan cuplikan angan

0 komentar:

Posting Komentar

Thanks for Reading. Follow my instagram account @abadikanmu and see you there!