Pemburu berita sedang berada di puncak jayanya saat
ini. Segala berita tumpah ruah selama bulan-bulan terakhir dan bulan-bulan ke
depan. Berita politik, korupsi, pemilu, jelang puasa, dan piala dunia.
Nanti juga masih banyak berita yang menunggu untuk
dibeberkan. Tentang arus mudik, penentuan Presiden oleh KPU, hari kemerdekaan,
dan lain sebagainya. Bagi mereka sang wartawan, pertengahan tahun ini jelaslah
tidak bisa disebut sebagai musim paceklik.
Ada satu berita yang baru-baru ini menyentil saya
untuk nggak bisa nahan diri minta komentar dari Pakdhe Raya S. Jokondokondo.
Berita mengenai penutupan lokalisasi Gang Dolly yang rencananya akan ditutup
pada tanggal 18 Juni.
Pakdhe Raya yang sedang udud di teras rumah tampil
berbeda dengan rambut gondrongnya yang dikucir. Mau dikucir, mau dikepang, mau
di apa-apain ya tetep aja, rambut keritingnya selalu terlihat sangar.
‘Pakdhe Raya setuju nggak dengan wacana penutupan Gang
Dolly itu?’ Saya memulai obrolan dengan pertanyaan.
Asap mengepul di depan bibirnya. ‘Lepas dari
pernyataan setuju atau ndak, yang pasti sampeyan musti tahu, Mas. Gang Dolly
ndak bakal pernah ditutup.’
‘Loh, tapi pakdhe, Pemkot Surabaya aja udah
mengkonfirmasi perihal rencana penutupan pada tanggal 18 itu kok. Panjenengan
belom liat beritanya, ya?’
‘Saya yakin, Mas. Gang Dolly itu ndak bakal tutup.
Gang Dolly hanya akan pindah tempat dan berganti nama saja.’
‘Maksud Pakdhe?’
‘Selama upaya dan cara pemerintah masih kayak Tukang
Perintah, gang Dolly akan tetap ada. Mungkin saja namanya yang berubah jadi
Gang Peni, Gang Kartini, Gang Si Beby, Gang Si Doi, atau yang lainnya. Singkat
kata, rencana penutupan ini hanya istilah lain dari Imigrasi Mucikari.’
Mungkin karena merokok, saya menduga. Pakdhe Raya
tumben hari ini bisa seserius ini.
‘Memangnya menurut panjenengan cara yang benar untuk
benar-benar menutup lokalisasi Gang Dolly gimana, Pakdhe?’
Asap kembali mengepul dan mengepung badan Pakdhe Raya.
Saya yang bukan perokok berkali-kali terbatuk karenanya.
‘Yaa lonte-lontenya yang dibenahi. Vagina lontenya
yang ditutup pake pendekatan intensif. Bukan cuman tempat mereka biasa
“berdagang” yang melulu diurusi. Kalo vagina lonte-lonte itu terus menerus
dibiarin bolong, wajarlah kalo banyak penis yang keluar masuk disana.’
Ah, Pakdhe Raya mulai sembarang ngomongnya. Saya nggak
berani protes. Saya masih pengen ndengerin penjelasan beliau. ‘Cara “menutup
vagina” mereka supaya nggak bolong gimana, Pakdhe?’
‘Begini, Mas. Mari saya jelaskan. Jadi walau gimana
pun, yang namanya lonte itu juga manusia. Mereka punya hak dan derajat yang
sama dengan kita. Sesama manusia. Tuhan ndak pernah memandang sebelah mata para
hambaNya. Cuman kita yang suka sombong membeda-bedakan manusia sesuka jidat.
Liat saja tuh para ustad yang khotbah di pengajian.
Beberapa diantara mereka nyuruh kita supaya menjauhi para lonte. Bahkan ada
yang sampai mengata-ngatain kalo para lonte dipastikan masuk nerakalah, yang berdosa besarlah, yang temannya iblislah. Banyak pokoknya, Mas.
Logikanya gini, si ustad menghina dan menghujat si
lonte sedemikian rupa tapi jangankan mencoba mengajak mereka berubah ke jalan
yang benar, hlawong mereka malah merasa jijik dan menyuruh kita menjauhi.
Sekarang, mana mungkin si lonte mau dan bisa berubah
kalo lingkungan sekitar sudah mengucilkan mereka. Mana mungkin si lonte sadar
perbuatannya salah, kalo yang tahu mana yang benar ndak mau mengajak mereka
untuk berubah menjadi benar.
Hati saya miris, Mas. Seandainya saja para pemuka
agama mau mendatangi dan mengadakan pengajian untuk para lonte, pasti jumlah
lonte akan berkurang. Sudah ada memang, tapi masih amat sangat sangat jarang.
Saya mikirin perasaan para lonte itu. Mungkin mereka
ndak pengen hidup menjadi lonte. Mungkin sesuatu memaksa mereka untuk
menjadikan lonte sebagai sebuah profesi. Mereka, lonte-lonte itu, seperti anak
tiri yang dicaci maki dan lupa diurusi oleh orangtua kandung mereka sendiri.
Mereka itu lonte. Kalopun ingin ngasih ceramah ke
mereka yo ada caranya sendiri. Jangan bawa ayat Tuhan atau khotbah yang panjang
tentang azab neraka. Mereka ndak bakal mau denger. Juga sekali lagi, jangan
mencaci mereka. Kasihan, hati mereka rawan rapuh.’
‘Lalu gimana cara ngomong yang baik ke lonte-lonte
itu, Pakdhe?’
‘Yo saya ndak tahu, Mas. Coba nanya ke psikolog,
mungkin mereka lebih paham. Saya cuma bisa berbagi pengalaman. Dulu saya pernah
punya sahabat yang masih bekerja sebagai lonte. Boleh percaya boleh ndak, dia
ngomong sendiri ke saya kalo dia pensiun dini dari dunia kelontean gara-gara
denger omongan saya.’
‘Pakdhe ngomong apa?’
‘Waktu itu saya di suatu kesempatan dia nangis-nangis
curhat ke saya, katanya dia benci ngelonte tapi nggak punya pilihan lain selain
menjadi lonte. Untuk membantu biaya hidup orang tua, dia beralasan.
Pada waktu itu saya cuma bilang ke dia, “Yo saya
ngerti gimana perasaan sampeyan. Saya cuman bisa berdoa semoga pekerjaan
sampeyan saat ini ndak lama. Sampeyan bisa cepet beralih ke profesi lain. Untuk
saat ini, dengan keadaan seperti ini, lakukan yang perlu dilakukan. Tuhan ndak
pernah tidur. Tuhan tahu apa yang sampeyan mau. Tuhan mengabulkan doa sampeyan
nanti tepat kalo sampeyan memang sudah siap. Tuhan sayang sama sampeyan, nduk.”
Gitu mas.’
‘Dan dia beneran pensiun, Pakdhe?’
‘Seorang yang rapuh hanya mampu dikuatkan sama yang
namanya sentuhan kasih sayang, Mas. Segala yang berbau kekerasan ndak mempan
menyadarkan hatinya. Tapi kelembutan, kasih sayang dan perhatianlah yang
akhirnya membuat dia berhenti menjajakan diri.’
Saya tersenyum mendengar wejangan Pakdhe Raya.
Entah dari mana ada perasaan takjub yang
menggelembung. Tersebar dalam skala besar bercampur dengan asap rokok yang
mengambang pelan di atas kami.
Pada akhir jumpa, malam itu, Pakdhe Raya kembali
berkata, ‘Hati saya rasanya miris, Mas. Banyak orang yang ndak sepantasnya
menghina para lonte, malah menjadi yang paling khusu menghina mereka.
Barangkali yang menghina itu lupa, bahwa dirinya juga belum tentu lebih mulia
dari lonte-lonte yang mereka hina. Bisa jadi, merekalah yang lebih
menjijikkan.’
‘Iya, Pakdhe. Mereka lebih sontoloyo!’
‘DASAR KONTOLOYO..! eh, SONTOLOYO!’
(.‘’)(‘’.)
(.‘’)(‘’.)
Matur
nuwun sudah kersa pinarak ke gubuk kecil saya
Sebuah gubuk, tempat menabung potongan kejujuran dan cuplikan
angan
0 komentar:
Posting Komentar
Thanks for Reading. Follow my instagram account @abadikanmu and see you there!