Pages

Sabtu, 31 Mei 2014

Ngebis ke Pantai Siung



Selasa kemarin saya bis-bisan (bukan jalan-jalan) ke salah satu pantai di kawasan Gunung Kidul. Pantai Siung. Perihal gimana tempatnya, akomodasinya dan dimana lokasinya, silakan mampir ke gugel. Disini saya mau cerita tentang perjalanan saya kesana bersama temen-temen saya sekolah.



Saya membuka mata pukul 04.30. Kalo dulu pas masih kecil saya suka nyanyi ‘bangun tidur ku terus mandi.. tidak lupa menggosok gigi..’ Mungkin kali ini saya sadar pada kenyataannya lagu itu salah. Yang benar harusnya ‘Bangun tidur ku terus nguap.. tidak lupa kucek-kucek mata..’ Begitu lebih realistis.

Seharusnya—saya benci kata seharusnya—pukul setengah enam bis dari Sragen melintas di daerah Palur, Solo. Tempat saya menunggu jemputan bis.



Karena perbedaan tempat tinggal, saya berdomisili di Solo sedangkan teman yang lain berumah di Sragen dan tujuan wisata adalah ke Gunung Kidul yang rutenya kalo dari Sragen pasti melewati Solo, maka saya memutuskan untuk memotong rute. Menunggu bis melintas dan menaikinya dari Palur Solo, tepat di samping lampu merah dekat Giant Palur Plasa.


Pagi itu saya awali dengan rasa sebal. Waktu berjalan molor. Bus tiba di tempat saya menunggu pukul 06.15. Molor 45 menit dari jadwal.


Yang saya sebalkan bukan karena busnya dateng telat, tapi kebiasaan waktu molor yang kayaknya dianggap ‘Budaya’ bagi sebagian orang yang saya kenal. Dan kenapa waktu molor sering kali kejadian disaat yang nggak diinginkan.




Kenapa ya waktu molor nggak terjadi disaat yang diinginkan aja? Kan enak tuh kalo misalnya waktu molor saat lagi… berciuman. Ah, kalo pas itu sih jangankan waktu yang molor berjam-jam, waktu yang nggak berjalan pun pasti dijamin betah.

Ketika pintu bus ditutup dan saya duduk di kursi, perjalanan saya ke Pantai Siung dimulai.

Perjalanan yang menyenangkan. Berada dalam bus bersama teman-teman yang asyik dan melewati rute jalur ke pantai yang sebelumnya pernah saya lewati dengan bermotor menimbulkan nuansa nostalgia tersendiri untuk saya.




Pada perjalanan menuju Pantai Siung suasana di bus begitu senyap. Mungkin hanya suara Trio Dian, Nanto, Hendri yang terdengar mendominasi karena mereka berkaraoke ria dengan nada-nada yang menyulut tawa. Sisanya, teman yang lain sibuk terkantuk-kantuk. Sepertinya lengkingan suara trio diva tadi mampu berefek bak pil CTM. Meninabobokan.





Teman yang lain pengen cepet sampai di Pantai karena geregetan pengen foto-foto. Saya pengen cepet sampai di Pantai karena was-was kalo kutukan saya kambuh.

Saya seorang pemabuk berat.
Baiklah, saya ralat. Saya seorang pemabuk DARAT berat.
Umumnya lelaki di cap sebagai buaya darat. Kalo saya seringnya di cap sebagai pemabuk darat.



Iya, saya orangnya mabukan. Dan saya adalah tipe orang yang tersugesti untuk nggak percaya sugesti. Sugesti bagi orang mabukan adalah biar nggak mabuk dianjurkan duduk di depan, ada yang bilang biar nggak mabuk minum obat antimo, juga ada yang menyarankan supaya nggak mual pas masuk bis hidung harus dijepit rapat-rapat.




Semua sugesti itu nggak berefek pada diri saya. Mau minum obat, mau jepit hidung, duduk depan, dengerin musik, tetep nggak berubah. Makanan yang sebelumnya saya telan akan tetap menghambur keluar mengisi plastik kresek hitam.





Benar saja. Baru satu jam perjalanan perut saya seperti diaduk-aduk. Rasa mual merambati sekujur tubuh. Bagai Godzilla yang menyemburkan sinar laser ke arah lawan, hooooeeekkkk. saya adalah si Godzilla dan plastik kresek hitam di tangan saya bagaikan musuh yang menantang untuk dihabisi dengan semburan laser. Saya muntah. Berkali-kali.





Malu sih, kalo dikatain sebagai anak cowok kok mabukan. Tapi ya mau gimana lagi, dari kecil saya memang sudah terlahir sebagai Dewa Mabuk. Bagai Van Helsing yang berubah menjadi Wolfman kalo terkena sinar bulan purnama, saya pun berubah jadi Godzilla kalo berpergian jauh menggunakan kendaraan beroda lebih dari dua.


 
Sebenarnya saya kasihan sama teman lain. Ketika saya memasuki bus dari Solo tadi sebenarnya mereka baru saja disodori sebuah beban masalah: Saya.





Teman-teman silih berganti mengurusi saya saat mabuk. Mereka seperti estafet, mana yang luang menyediakan tangan untuk mengurusi saya yang sibuk memuntahkan sinar laser ke musuh saya, Si Kresek Hitam.





Tapi kadang dari saya yang mabuk berat itu, malah timbul lelucon-lelucon yang dilempar oleh mas-mas guidenya dan bisa memecah suasana. Bahkan temen saya, citra, malah main tebak-tebakan apa warna muntahan saya yang keluar tiap denger saya mengeluarkan suara HOOOEEEKKK.

Memang dia begitu perhatian. Saya curiga kalo saat itu ada temen sakit diare mungkin dia juga menebak kira-kira feses yang keluar warnanya apa.





Pukul 10 lewat empat puluh lima kami tiba di Pantai Siung. Saya buru-buru keluar dari bus. Melarikan diri dari kutukan Arwah Godzilla.







Begitu saya menginjak pasir pantai, disuguhi deru ombak dan dikerubungi oksigen. Saya kembali menjadi manusia normal—bukan lagi manusia setengah Godzilla. Sejak saat itu saya jadi berkesimpulan ‘Nggak ada AC merk apapun yang bisa ngalahin O2 dari Sang Pencipta.’






Bener hlo. Sekalinya saya menghirup udara bebas, kesehatan saya langsung pulih. Temen saya, Diana, sampai nyeletuk ‘Kamu itu, dasar! Kalo sampai di tempat wisata mendadak sehat tapi kalo di bus pasti kayak orang lemes.’






Hahahaha. Nggak tahu korelasinya apa, tapi oksigen memberi saya keajaiban yang muncul seketika.



Dannnnn…

Tibalah saya di Pantai Siung.


Ah, ketemu pantai lagi. Rasanya saya pengen duduk di tepi ombak, selonjoran memandang laut lepas seharian. Ditemani perempuan tercinta. Berdua berciuman mesra dihadapan pemandangan senja. Menikmati waktu yang molor tanpa sia-sia.



Saya nggak menyesal sempat menjadi Godzilla. Rasa kangen sama pantai akhirnya terobati. Memang untuk mendapatkan yang indah tak pernah diawali dengan perjuangan yang mudah.

Momen di Pantai Siung adalah salah satu yang terindah.
Terimakasih teman-teman.
Terimakasih Pantai Siung.
Terimakasih Plastik Kresek Hitam.




Saya janji, akan ke pantai lagi. Nanti.


(.‘’)(‘’.) (.‘’)(‘’.)





Matur nuwun sudah kersa pinarak ke gubuk kecil saya




Sebuah gubuk, tempat menabung potongan kejujuran dan cuplikan angan
  
















1 komentar:

Aji mengatakan...

Ayuh mangkat..

Posting Komentar

Thanks for Reading. Follow my instagram account @abadikanmu and see you there!