Pages

Rabu, 19 Maret 2014

Pengumuman SNMPTN 2014/2015


Untuk Para Lembu-lembu Legantoro

Sesuatu bisa dikatakan manis karena ada sesuatu lain yang terasa pahit. Sesuatu bisa dikatakan rendah karena ada sesuatu yang terlihat tinggi. Sesuatu pula dapat dikatakan baik, sebab, kita tahu, ada perihal lain yang nampak buruk.

Saya nggak pengen menilai mana yang baik dan mana yang buruk. Saya juga nggak mau memilah mana yang manis maupun yang pahit.

Saya hanya percaya bahwa tak ada sesuatu yang terjadi tanpa adanya sebab-akibat. Tak terkecuali cinta.

Tapi ini bukan soal cinta. Ini perkara lain. Perkara yang sudah saya terima akibatnya, namun belum saya ketahui sebabnya.

Begini ceritanya.

Saya adalah siswa SMK kelas 12. Tahap terakhir menjalani pendidikan wajib sebelum nanti melanjutkan menjadi mahasiswa.

Disinilah masalah timbul. Saya memang ingin melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Saya berencana mendaftar Perguruan Tinggi lewat jalur SNMPTN Bidik Misi

Bagi siswa yang berminat bisa langsung mendaftar ke situs resmi Bidik Misi pada jadwal yang ditentukan. Namun untuk dapat login salah satu syaratnya adalah siswa harus memiliki password. Password tersebut didapatkan dari sekolah setelah pihak sekolah menginput data ke laman Bidik Misi.

Begitulah langkahnya. Begitu pula yang saya jelaskan kepada salah satu guru yang (saya anggap dan berharap bersedia) mengurus pendaftaran tersebut.

“Baik, Mas. Ini saya pelajari dulu. Nanti saya bicarakan dengan Pak Kepala untuk kemudian saya dafarkan. Untuk selanjutnya, ditunggu saja infonya..”

Begitu jawaban dari Beliau, setelah saya selesai menjelaskan.

Dan saya pun menunggu.

Beberapa waktu kemudian saya kembali menemui Beliau, karena tidak kunjung memperoleh informasi yang Beliau janjikan. Saya nggak akan bersikap buru-buru kalo saja dalam penginputan data tidak dibatasi waktu.

“Ditunggu dulu, Mas. Waktunya kan masih sampai Maret. Ini baru Februari. Ini sedang proses, Mas. Nanti saya infokan!” Ujar Beliau setelah saya temui untuk kedua kali.

Dan harapan pun datang. Beliau benar memberi saya informasi. Saya diminta mengumpulkan fotokopi raport semester 3 sampai 5 dan menyerahkan SKTM dari kelurahan setempat. Sedangkan untuk pengimputan data Beliau kembali bilang, “Ini masih proses, Mas.”

Saya sedikit lega karena pada akhirnya pendaftaran Bidik Misi mendapat jalan. Tapi ternyata, jalan tersebut tidak menghantarkan sampai tujuan. Jalan itu buntu ditegah-tengah waktu.

Saya tak ingin tinggal diam. Saya bergegas menemui beliau lagi. Diluar dugaan, tiba-tiba Beliau memberi kabar yang saya nggak tahu apa itu pantas disebut pahit atau manis. Yang pasti, mendengar kabar tersebut, membuat saya … mati rasa.

“Begini, ya Mas. Kamu kan tau sekolah kita itu swasta. Terletak di kabupaten pula. Sangat kecil kemungkinannya dapat lolos seleksi SNMPTN atau Bidik Misi.”

Saya berusaha membujuk. “Tapi Pak, kita kan belum sempat mencoba…”

“Sudah, Mas, tahun lalu. Dan seperti yang sudah saya prediksikan. Gagal semua.” Beliau masih memegang pendiriannya.

“Untuk tahun ini Pak, saya mohon, coba lagi sekali lagi.”

Beliau malah tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. “Jangan kan lolos, untuk dapat dipertimbangkan saja, sekolah kita pasti kalah dengan sekolah-sekolah lain yang lebih favorit. Sudahlah, Mas. Sekolah kita tidak mungkin diterima.”

Fiuuhhh.

Dalam hati saya berkata, lah, Bapak kan berstatus guru di sekolah (yang katanya) nggak favorit, kenapa dulu bapak malah melamar menjadi guru di sekolah (yang katanya) nggak favorit ini?

Apa karena Bapak kurang percaya diri menjadi guru di sekolah yang lebih favorit?

 Atau malah tidak diterima menjadi guru favorit di sekolah favorit, lantas membuat Anda menjadi guru yang nggak favorit di sekolah (yang katanya) nggak favorit ini?

Dan kenapa Bapak tidak mencoba menjadikan sekolah kita menjadi favorit, salah satu caranya dengan melancarkan siswanya mendaftarkan ke Perguruan Tinggi yang mana bila diterima bisa menjadi media promosi sekolah untuk menjadi sekolah yang katanya favorit?

Apa sih sebenarnya favorit Bapak? #gubrak

Waktu pun bergulir. Hari demi hari terlewati. Beliau belum mau mengupayakan. Saya sudah mencoba melobi beliau lagi, tetapi jawaban yang saya terima selalu sama.

Tak hanya saya, teman saya juga ada yang mencoba menemui Beliau untuk mengutarakan hal serupa. Tapi Beliau tetap setia dengan jawabannya, “Tidak bisa! Sekolah kita kalah favorit sama sekolah lain. Kita tidak akan bisa lolos!”

Iyalah, Pak. Gimana mau lolos wong didaftarkan saja nggak?!

Merasa seperti diabaikan, saya enggan menjadi korban PHP.

Setengah pasrah, saya mencoba menemui guru lain. Dan Alhamdulillah, ada guru yang bersedia mengurusi. Namun karena banyaknya siswa yang berminat ikut dan semua belum diinput datanya (padahal, tadi bilangnya udah tahap proses. Proses apa cobaa?), sedangkan saat itu sudah hari terakhir penginputan data ke situs resmi SNMPTN. Akhirnyaaaa….

Saya benar-benar gagal ikut jalur SNMPTN. Gagal mencoba. Gagal sebelum terseleksi apa-apa. Gagal lebih cepat dari seharusnya.

Menyedihkan. Gagal lolos mungkin mengecewakan, tapi gagal mencoba itu lebih mengerikan.

Apa saya sebal? Iya, saya sebal.
Apa saya kecewa? Iya, saya kecewa.
Apa hanya saya yang sebal dan kecewa?
Tentu tidak. Teman-teman yang lain pun juga kecewa. Orang tua saya juga ikut kecewa. Mungkin orang tua dari teman yang lain juga.

Memang ini belum sepenuhnya berakhir. Masih ada jalur lain, yakni jalur SBMPTN. Tapi ada kesempatan yang seharusnya bisa digunakan dan dimaksimalkan, sebelum kesempatan itu sirna. Dan hilang. Fiuhh. Begitu saja.

Ah, sudahlah…

Saya hanya membayangkan, apa jadinya jika dulu Thomas A. Edison takut mencoba dan menyerah dengan keadaan? Ah, pasti sekarang ini tidak aka nada lampu. Gelap gulita bercahaya purnama.

Apa jadinya kalo dulu Alexander G. Bell malas mencoba lagi ketika sempat gagal? Pasti saat ini kita tidak bisa menikmati kemudahan berkomunikasi lewat telepon.

Apa jadinya kalo saja dulu para pejuang tanah air berpikir negatif dan menolak berubah? Tentu, hari ini kita masih dijajah oleh negara lain. Belum merdeka. Atau malah, tak merdeka sama sekali.

Mereka semua cerminan pribadi yang pernah—bahkan sering gagal namun tetap punya keberanian untuk mencoba.

Karena mereka yakin, selama ada upaya, disitu ada asa.

Ah, andai kemarin saya bertemu dengan Beliau-beliau yang penuh dengan asa, mungkin saya tidak akan… KALAH SEBELUM BERPERANG.



Semoga, kemarin kami saja yang kecewa dan ada perubahan untuk kesempatan-kesempatan selanjutnya.


(.‘’)(‘’.) (.‘’)(‘’.)

Matur nuwun sudah kersa pinarak ke gubuk kecil saya
Sebuah gubuk, tempat menabung potongan kejujuran dan cuplikan angan



2 komentar:

Aji mengatakan...

Parani terus wae, gurune judeg yoben..
menowo rejeki yo apik..

@bosbinbin mengatakan...

Haha.. oke bro, nyuwun doa ne..
suwun..

Posting Komentar

Thanks for Reading. Follow my instagram account @abadikanmu and see you there!