Untuk Para Lembu-lembu Legantoro
Sesuatu bisa dikatakan
manis karena ada sesuatu lain yang terasa pahit. Sesuatu bisa dikatakan rendah
karena ada sesuatu yang terlihat tinggi. Sesuatu pula dapat dikatakan baik,
sebab, kita tahu, ada perihal lain yang nampak buruk.
Saya nggak pengen menilai
mana yang baik dan mana yang buruk. Saya juga nggak mau memilah mana yang manis
maupun yang pahit.
Saya hanya percaya bahwa
tak ada sesuatu yang terjadi tanpa adanya sebab-akibat. Tak terkecuali cinta.
Tapi ini bukan soal cinta.
Ini perkara lain. Perkara yang sudah saya terima akibatnya, namun belum saya
ketahui sebabnya.
Begini ceritanya.
Saya adalah siswa SMK
kelas 12. Tahap terakhir menjalani pendidikan wajib sebelum nanti melanjutkan
menjadi mahasiswa.
Disinilah masalah timbul.
Saya memang ingin melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Saya berencana mendaftar
Perguruan Tinggi lewat jalur SNMPTN Bidik Misi
Bagi siswa yang berminat
bisa langsung mendaftar ke situs resmi Bidik
Misi pada jadwal yang ditentukan. Namun untuk dapat login salah satu
syaratnya adalah siswa harus memiliki password. Password tersebut didapatkan
dari sekolah setelah pihak sekolah menginput data ke laman Bidik Misi.
Begitulah langkahnya.
Begitu pula yang saya jelaskan kepada salah satu guru yang (saya anggap dan
berharap bersedia) mengurus pendaftaran tersebut.
“Baik, Mas. Ini saya
pelajari dulu. Nanti saya bicarakan dengan Pak Kepala untuk kemudian saya
dafarkan. Untuk selanjutnya, ditunggu saja infonya..”
Begitu jawaban dari
Beliau, setelah saya selesai menjelaskan.
Dan saya pun menunggu.
Beberapa waktu kemudian
saya kembali menemui Beliau, karena tidak kunjung memperoleh informasi yang
Beliau janjikan. Saya nggak akan bersikap buru-buru kalo saja dalam penginputan
data tidak dibatasi waktu.
“Ditunggu dulu, Mas.
Waktunya kan masih sampai Maret. Ini baru Februari. Ini sedang proses, Mas.
Nanti saya infokan!” Ujar Beliau setelah saya temui untuk kedua kali.
Dan harapan pun datang.
Beliau benar memberi saya informasi. Saya diminta mengumpulkan fotokopi raport semester
3 sampai 5 dan menyerahkan SKTM dari kelurahan setempat. Sedangkan untuk
pengimputan data Beliau kembali bilang, “Ini masih proses, Mas.”
Saya sedikit lega karena
pada akhirnya pendaftaran Bidik Misi
mendapat jalan. Tapi ternyata, jalan tersebut tidak menghantarkan sampai
tujuan. Jalan itu buntu ditegah-tengah waktu.
Saya tak ingin tinggal
diam. Saya bergegas menemui beliau lagi. Diluar dugaan, tiba-tiba Beliau
memberi kabar yang saya nggak tahu apa itu pantas disebut pahit atau manis.
Yang pasti, mendengar kabar tersebut, membuat saya … mati rasa.
“Begini, ya Mas. Kamu kan
tau sekolah kita itu swasta. Terletak di kabupaten pula. Sangat kecil
kemungkinannya dapat lolos seleksi SNMPTN
atau Bidik Misi.”
Saya berusaha membujuk.
“Tapi Pak, kita kan belum sempat mencoba…”
“Sudah, Mas, tahun lalu.
Dan seperti yang sudah saya prediksikan. Gagal semua.” Beliau masih memegang
pendiriannya.
“Untuk tahun ini Pak, saya
mohon, coba lagi sekali lagi.”
Beliau malah tersenyum dan
menggeleng-gelengkan kepala. “Jangan kan lolos, untuk dapat dipertimbangkan
saja, sekolah kita pasti kalah dengan sekolah-sekolah lain yang lebih favorit.
Sudahlah, Mas. Sekolah kita tidak mungkin diterima.”
Fiuuhhh.
Dalam hati saya berkata, lah, Bapak kan berstatus guru di sekolah
(yang katanya) nggak favorit, kenapa dulu bapak malah melamar menjadi guru di
sekolah (yang katanya) nggak favorit ini?
Apa karena Bapak kurang percaya diri menjadi guru di
sekolah yang lebih favorit?
Atau malah
tidak diterima menjadi guru favorit di sekolah favorit, lantas membuat Anda
menjadi guru yang nggak favorit di sekolah (yang katanya) nggak favorit ini?
Dan kenapa Bapak tidak mencoba menjadikan sekolah kita
menjadi favorit, salah satu caranya dengan melancarkan siswanya mendaftarkan ke
Perguruan Tinggi yang mana bila diterima bisa menjadi media promosi sekolah
untuk menjadi sekolah yang katanya favorit?
Apa sih sebenarnya favorit Bapak? #gubrak
Waktu pun bergulir. Hari
demi hari terlewati. Beliau belum mau mengupayakan. Saya sudah mencoba melobi
beliau lagi, tetapi jawaban yang saya terima selalu sama.
Tak hanya saya, teman saya
juga ada yang mencoba menemui Beliau untuk mengutarakan hal serupa. Tapi Beliau
tetap setia dengan jawabannya, “Tidak bisa! Sekolah kita kalah favorit sama
sekolah lain. Kita tidak akan bisa lolos!”
Iyalah, Pak. Gimana mau lolos wong didaftarkan saja
nggak?!
Merasa seperti diabaikan,
saya enggan menjadi korban PHP.
Setengah pasrah, saya
mencoba menemui guru lain. Dan Alhamdulillah, ada guru yang bersedia mengurusi.
Namun karena banyaknya siswa yang berminat ikut dan semua belum diinput datanya
(padahal, tadi bilangnya udah tahap proses. Proses apa cobaa?), sedangkan saat
itu sudah hari terakhir penginputan data ke situs resmi SNMPTN. Akhirnyaaaa….
Saya benar-benar gagal
ikut jalur SNMPTN. Gagal mencoba.
Gagal sebelum terseleksi apa-apa. Gagal lebih cepat dari seharusnya.
Menyedihkan. Gagal lolos
mungkin mengecewakan, tapi gagal mencoba itu lebih mengerikan.
Apa saya sebal? Iya, saya
sebal.
Apa saya kecewa? Iya, saya
kecewa.
Apa hanya saya yang sebal
dan kecewa?
Tentu tidak. Teman-teman
yang lain pun juga kecewa. Orang tua saya juga ikut kecewa. Mungkin orang tua
dari teman yang lain juga.
Memang ini belum sepenuhnya
berakhir. Masih ada jalur lain, yakni jalur SBMPTN. Tapi ada kesempatan yang
seharusnya bisa digunakan dan dimaksimalkan, sebelum kesempatan itu sirna. Dan
hilang. Fiuhh. Begitu saja.
Ah, sudahlah…
Saya hanya membayangkan,
apa jadinya jika dulu Thomas A. Edison takut mencoba dan menyerah dengan
keadaan? Ah, pasti sekarang ini tidak aka nada lampu. Gelap gulita bercahaya
purnama.
Apa jadinya kalo dulu
Alexander G. Bell malas mencoba lagi ketika sempat gagal? Pasti saat ini kita
tidak bisa menikmati kemudahan berkomunikasi lewat telepon.
Apa jadinya kalo saja dulu
para pejuang tanah air berpikir negatif dan menolak berubah? Tentu, hari ini
kita masih dijajah oleh negara lain. Belum merdeka. Atau malah, tak merdeka
sama sekali.
Mereka semua cerminan
pribadi yang pernah—bahkan sering gagal namun tetap punya keberanian untuk
mencoba.
Karena mereka yakin,
selama ada upaya, disitu ada asa.
Ah, andai kemarin saya
bertemu dengan Beliau-beliau yang penuh dengan asa, mungkin saya tidak akan…
KALAH SEBELUM BERPERANG.
Semoga, kemarin kami saja yang kecewa
dan ada perubahan untuk kesempatan-kesempatan selanjutnya.
(.‘’)(‘’.) (.‘’)(‘’.)
Matur
nuwun sudah kersa pinarak ke gubuk kecil saya
Sebuah gubuk, tempat menabung potongan
kejujuran dan cuplikan angan
2 komentar:
Parani terus wae, gurune judeg yoben..
menowo rejeki yo apik..
Haha.. oke bro, nyuwun doa ne..
suwun..
Posting Komentar
Thanks for Reading. Follow my instagram account @abadikanmu and see you there!