Pages

Rabu, 18 April 2012

Strobery




 
“Rama, udah bawa obat-obatan?” teriak Mama dari sudut ruang tengah.
“Udah Ma” jawabku tak acuh.
“Udah bawa selimut belum?” tanya Mama lagi. “Nanti disana dingin lho, Rama. Nih Mama siapin selimut tebal dan obat sakit kepala.”
“Ah! Mama! Ngapain bawa begituan segala?! Nggak mau ah!” Aku menggelengkan kepala.
“Eh, Mama nggak mau disana nanti kamu sakit, Sayang.”

Begitulah Mama. Sikap keibuannya yang terlalu mencemaskan anaknya selalu berlebihan. Mama sangat khawatir seolah menganggap aku akan camping selama seminggu dihutan Amazon, seorang diri. Padahal camping yang diadakan sekolah hanya dua hari satu malam dan itupun serentak di ikuti oleh seluruh siswa kelas sepuluh. Namun kebiasaan Mama tersebut tetap menyeruak keluar. Selain nasihat cerewetnya yang sangat panjang, Mama juga ikut andil dalam mengurusi segala kebutuhan untuk camping nanti. Bahkan Mama sampai menelepon Dewa, teman sekelas, untuk mengabarinya jika telah terjadi sesuatu denganku. Benar-benar berlebihan.

Hari yang ditentukan pun tiba. Kami semua berkumpul di sekolah terlebih dahulu. Saat akan berangkat, setiap siswa berpamitan dengan orangtuanya. Ada yang hanya bersalaman dengan kedua orangtuanya atau sekedar melambaikan tangan. Semuanya biasa saja, kecuali Mama. Mama datang mendekatiku lalu memelukku erat dan mencium pipiku. “Mama! Jangan di depan teman-teman, Ma!” tukasku, malu.

Kontan saja, seluruh mata berpusat padaku. Ada yang menertawai, menyindir dan tidak sedikit yang mengolok-olok aku. “Rama anak mami…!” Ah! Semua gara-gara Mama!, gerutuku dalam hati.

****

Ketika acara camping dimulai, sikap berlebihan Mama kembali terulang. Kali ini Mama menggunakan media handphone. Berkali-kali Mama mengirim sms atau menelepon aku. Menanyakan keadaan dan memberi nasihat yang bermacam-macam. “Rama, gimana disana? Dingin kan?” kata Mama diseberang telepon. “Jangan bobo malem-malem ya! Jaketnya dipakai.”

Karena merasa tak ingin diganggu atau lebih tepatnya tak ingin kembali diejek “Anak Mami”, tanpa berpikir panjang , aku menonaktifkan handphone. Dengan alasan supaya Mama tidak akan menelepon lagi.

Keesokan harinya, setelah sarapan seluruh siswa diperbolehkan beristirahat dan menikmati segarnya udara pagi. Sejak semalam, aku tidak lagi mendengar suara cerewet Mama. Ternyata metode menonaktifkan handphone cukup berjalan sesuai rencana. Tanpa timbul keinginan untuk menyalakan handphone, aku merasakan sejuknya pagi sembari menyusuri kebun stroberi di kawasan camping.

Diujung jalan aku kaget melihat Afika sendirian memandangi hamparan kebun stroberi. Afika adalah cewek primadona di sekolah yang sudah lama menjadi incaranku. ini adalah kesempatan emas, pikirku dalam hati. Tidak ada siapapun kecuali kami, tidak akan ada gangguan. Terutama gangguan telepon dari Mama.

“Hai Afika..” sapaku, mendekati Afika. “Kok sendirian, lagi ngapain disini?”
“Nggak kok, cuman lagi pengen nostalgia sama stroberi.” Jawab Afika singkat.
“Nostalgia?” Aku heran, ada kenangan apa antara Afika dengan Stroberi.
Kami berdua masih berdiri di depan puluhan buah stroberi yang hampir masak. Afika terdiam tak bergerak. Kedua matanya sibuk menembus gerbang imajinasi seputar stroberi. Samar-samar aku menyadari bahwa selama ini Afika selalu memakai kalung dengan bandul berbentuk buah stroberi. Mungkinkah itu sebuah pertanda?

“Iya, nostalgia.” Sesungging senyum terbit dari bibirnya. “Buah stroberi mengingatkanku tentang kenangan seseorang yang begitu dekat dihati.”
“Kenangan tentang kalung itu?” Aku memandangi sinis kalung stroberi Afika.
“Benar, kalung ini.” Afika melepas kalungnya dan menimangnya ditangan. “Pemberian dari seorang yang paling aku cinta didunia.”
Seketika itu juga, tubuhku menjadi sangat lemas. Kata ‘cinta’ yang diucapkan Afika begitu menusuk di hati. Tajam. Seolah bongkahan batu menghantam diriku hingga hancur berkeping-keping. Sepertinya Afika sudah punya pujaan dihatinya.
“Pemberian dari pacar kamu ya?” tanyaku, lesu.
“Bukan..” Afika menghela nafas. “Ini pemberian ibuku. Aku kangen sama ibu..”
Aku terkejut. Ternyata kalung itu bukanlah pemberian dari seorang cowok. Seseorang tercinta yang dimaksud Afika adalah ibunya. Tapi aku tidak mengerti, mengapa kalung itu sangatlah penting hingga dia selalu memakainya setiap hari. Padahal aku malah malu jika memakai jam tangan yang dibelikan Mama. Perbedaan kontras yang terjadi diantara kami mengalir begitu saja. Seolah semakin membanjiri ingatan Afika tentang ibunya, tanpa terasa kedua mata Afika berkaca-kaca.
“Kenapa kamu nggak menelepon ibu kamu aja? Lalu bilang, kalo kamu kangen beliau. Kamu bawa handphone, kan?”
“Andai semudah itu, Ram” Wajah Afika berubah jadi murung. Gulungan mendung menutupi bening matanya hingga tak kuasa menahan air mata. “Ibuku sudah pergi. Jauh sampai aku tak bisa menemuinya. Beliau meninggal dunia saat aku masih kecil.” Tetes demi tetes, air mata Afika berjatuhan di pipi.
“Maafin aku, Afika, aku bener-bener nggak tahu. Maaf” kataku, karena sudah salah mengira.
“Nggak pa-pa, Ram.” Afika mengusap kedua matanya yang basah. “Udah lama juga. Lagian aku selalu ngerasa deket dengan ibu setiap kali memakai kalung ini.” Ucapnya, lembut tapi begitu bermakna.

Aku seperti disadarkan oleh penjelasan Afika. Selama ini aku cukup dekat dengan Mama. Bahkan sangat dekat. Namun aku selalu berusaha untuk membuat jarak dengan Mama. Aku menyesal karena telah menyia-nyiakan kesempatan Tuhan ini. Sedangkan orang-orang seperti Afika, tanpa meminta, mereka telah dipisahkan dengan ibunya oleh alam yang berbeda. Seharusnya aku mensyukuri karunia yang diberikan Tuhan. Aku nggak mau membuang waktu, selagi masih bisa, aku pengen selalu berada di dekat Mama. Menikmati rasa sayang dari Mama. Selamanya.

Seketika itu juga, aku merogoh kantong untuk mengambil handphone dan lantas menyalakannya. Banyak sms dari Mama yang tertunda semenjak semalam. Aku bergegas menekan tombol dan menelepon Mama.

“Halo, Ma. Ini aku.” Ucapku, lirih.
“Ya ampun Rama, kamu kemana aja kok Mama hubungi nggak bisa? Mama khawatir sama kamu, Sayang!” nada bicara Mama meninggi.
“Iya, Ma.. Dari semalam handphonenya aku matiin, Ma.” Jawabku, jujur.
“Oh iya. Mama kira kamu kenapa-napa. Syukurlah kamu baik-baik saja. Ya udah, kamu balik camping lagi aja. Nanti sore telepon lagi. Daa Sayang….”
“Ma, tunggu!” Aku berusaha mencegah Mama menutup telepon.
“Iya?” sahut Mama.
“Emm, Rama minta maaf, Ma. Rama udah bikin Mama jadi khawatir. Rama pengen ngomong..” Aku mencoba mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang ada. Afika berdiri disampingku, mengamati dengan seksama. “Rama sayang sama Mama.”
“Iya, Sayang” Terdengar suara terisak di seberang telepon. “Mama juga sayang kamu … sangat sayang.. Ya sudah, cepet balik ke tenda gih. Jangan sampai telat. Mama tutup ya..” Mama lalu menutup telepon.
Aku tersenyum malu-malu menghadap Afika. Mata Afika kini kembali berkaca-kaca. “Tadi kamu habis telepon Mama ya?”
“Emm, iya. Kamu kan tahu, aku anak mami.” Jawabku malu.
Afika mengulurkan tangannya. Menggenggam tanganku.“Banyak cowok cemen yang ngaku berani berantem melawan preman. Tetapi jarang ada cowok gentle yang punya nyali untuk mengatakan sayang kepada ibunya sendiri. Dan aku suka sama cowok seperti kamu..”
“Ini artinya, kita?”
Afika mengangguk. Dan kita pun bergandengan tangan menuju tenda.

****

1 komentar:

FitDesiLife mengatakan...

gives technical knowledge on current topics such as parliamentary information office

Posting Komentar

Thanks for Reading. Follow my instagram account @abadikanmu and see you there!